Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Islam (Hijriyah). Yang menandakan bahwa tanggal satu Muharram adalah tahun baru Islam. Bulan Muharram sendiri, dan juga sebelas bulan lainnya yang termasuk dalam kalender hijriyah, sebenarnya sudah ada dan dikenal dalam sejarah masyarakat Arab sebelum Islam. Termasuk juga penetapan bulan-bulan haram (suci) yang empat, Dzulqa’dah, Dzul-Hijjah, Muharram dan Rajab. Setelah Islam datang, kemudian empat bulan haram itu mendapat penegasan. Seperti firman Allah: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram”. (At-Taubah: 36).
Tentang apa saja bulan haram yang empat itu, Rasulullah saw sendiri yang mentafsirkan ayat ini. Sebagaimana sabdanya: “Setahun ada dua belas bulan, empat diantaranya adalah bulan suci. Yang tiga, berturut-turut, Dzulqa’dah, Dzul-Hijjah, Muharam dan Rajab”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).
Hanya saja masyarakat Jahiliyah tidak ada yang mempunyai batasan yang pasti untuk menandai tahun. Mereka biasanya menandai tahun dengan peristiwa – peristiwa yang terkait dengan tahun tersebut. Seperti contoh kelahiran Rasulullah Muhammad saw, adalah tahun gajah. Karena waktu itu ada peristiwa upaya penghancuran ka’bah yang dilakukan Abrahah dengan tentara bergajahnya. Berawal pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra, atas ide Ali bin Abi Thalib ra, kemudian Sayyidina Umar menetapkan hijrahnya Rasulullah saw sebagai hitungan tahun dalam kalender Islam.
Karena peristiwa tersebut mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam. Terkait dengan urutan bulan, mulai Muharram sampai Dzulhijjah, Sayyidina Umar tidak merubahnya.
Karena itu adalah urutan yang sudah dikenal luas di masyarakat Arab dan mendapatkan penegasan dari Allah swt. Jadi jelas bahwa permulaan kalender hijriyah, urutan bulannya dari Muharram, bukan karena Rasulullah hijrah di bulan Muharram. Karena Rasulullah sendiri hijrah pada bulan Rabi’ul Awwal. Hanya penghitungan tahunnya yang dinisbahkan (disandarkan) kepada hijrah beliau. Sehingga jadilah tahun Islam itu disebut tahun hijriyah. Ini juga untuk menepis tuduhan orang – orang syi’ah yang sok pinter, yang mengatakan bahwa Sayyidina Umar “salah” menyebut hijrah
Rasulullah saw pada bulan Muharram. Padahal Sayyidina Umar tidak pernah menyebut demikian. Berarti yang ngawur itu adalah orang – orang syi’ah, yang dasarnya mereka sudah tidak suka pada Umar bin Khaththab.
Nah, kalau demikian tidak ada yang salah dengan kebiasaan kaum muslimin yang setiap datangnya Muharram, sebagai tahun baru Islam, selalu menghubungkannya dengan peristiwa Hijrahnya Rasulullah saw dan para sahabatnya ke Madinah.
Karena memang itu adalah awal penghitungan kalender Islam. Hanya mungkin cara merayakan dan nuansa seperti apa yang harus kita bangun untuk menjadikan perayaan tersebut penuh makna. Sehingga kita sebagai ummat Islam yang beriman kemudian, jauh setelah peristiwa hijrah tersebut, tetap bisa menghadirkan semangat hijrah dalam hidup kekinian.
Mungkin yang perlu kita biasakan mulai saat ini adalah bagaimana setiap memasuki tahun baru Islam, hendaknya kita mengadakan evaluasi terhadap semangat atau ghirah keislaman kita. Mari kita bertekad untuk menjadi muslim yang lebih baik. Kita harus merenungkan kembali kandungan hikmah yang ada di balik peristiwa hijrah yang dijadikan acuan awal perhitungan tahun Islam ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasulullah saw dan para sahabatnya memutuskan hijrah, baik ke Habasah ataupun ke Yatsrib, adalah karena mereka mendapatkan tekanan dan intimidasi yang luar biasa daripada musuh-musuh Islam di Mekkah. Bukan karena kesulitan ekonomi yang membuat mereka meninggalkan kampong halaman. Bukan pula karena mereka tidak memperoleh kedudukan politik yang membuat mereka harus mencarinya di tempat lain. Bukan pula karena mereka kesulitan mendapatkan jodoh sehingga mereka harus mencarinya ke luar daerah. Tapi mereka hijrah (pindah tempat) adalah karena semata – mata untuk menyelamatkan agama mereka. Agar mereka bisa leluasa menjalankan ajaran agama mereka. Agar mereka bisa tenang beribadah. Agar mereka bebas beribadah kepada Allah, Tuhan mereka.
Tersebutlah seorang pemuda yang ikut hijrah bersama kaum muslimin yang lain, karena untuk mendapatkan kekasih hatinya. Sehingga karenanya kemudian Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang itu akan mendapatkan seperti apa yang diniatinya. Barang siapa yang hijrah karena
Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrah untuk mendapatkan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka dia akan memperoleh apa yang dihijrahinya.”.
Jelaslah bahwa semangat hijrah adalah semangat penyelamatan agama dan perbaikan kualitas beragama. Sehingga bagi sesiapa yang merasa keberlangsungan agamanya terancam di suatu tempat, hendaklah ia meninggalkan tempat itu. Dan barang siapa yang di daerah asal tidak bisa mendapatkan pengajaran tentang agamanya, wajib bagi dirinya untuk pergi ke tempat lain guna memperoleh pelajaran agama. Kalaupun misal di seorang muslim di tempat asalnya bisa belajar dan menjalankan agamanya dengan baik, tetaplah baik baginya untuk pergi ke suatu daerah lain yang jauh dari kampung halamannya. Hijrah yang terakhir ini bukan untuk menyelamatkan atau belajar agama. Tapi justru sebaliknay, untuk menyebarkan agama di daerah baru.
Belajar, beribadah dan berdakwah adalah tiga hal yang dituntut oleh Islam dari para pemeluknya. Ketika seorang muslim telah memenuhi tiga hal tersebut, layaklah kalau ia menyandang karakter muslim sejati yang telah memenuhi tuntutan agamanya. Belajar memperdalam agama, adalah hal pertama yang harus disegerakan untuk dilakukan oleh oleh orang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Belajar agama hukumnya wajib. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimah” (HR. Bukhari Muslim). Sebab tak akan bisa kita beragama dengan baik, kalau kita tidak mengetahui ajaran agaman kita.
Bagaimana mungkin seseorang akan beribadah kepada Allah, kalau ia tak tahu landasan hukum dan tata caranya. Dengan belajar, maka kita akan banyak tahu. Dengan banyak tahu, maka Allah kemudian akan mengangkat derajat kita beberapa derajat mengungguli kaum muslimin lainnya yang tak mau belajar. “Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman diantara kalian dan yang menuntut ilmu (agama) beberapa derajat” (al-Mujadilah: 11).
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebagai orang baik, maka Allah akan menjadikannya orang yang yang pandai beragama (faqih)” (HR. Bukhari).
Setelah mengetahui dengan baik ajaran Islam, tuntutan berikutnya yang harus dipenuhi oleh seorang muslim, adalah mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Sebab dengan hanya mengetahui saja, tanpa mengamalkan, maka ilmu yang didapat, tentu tidaklah ada gunanya. Sebab kalau sekedar menghafal, maka hal itu lebih bisa dilakukan oleh hard disc, falsh disc ataupun memori card. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka seharusnya semakin mengantarkan seseorang kepada rasa takut yang tinggi kepada Allah saw.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah, diantara hamba-hamba-Nya, adalah orang-orang yang tahu (ulama)” (QS Fathiir: 28). Dan bukti ketakutan kepada Allah, adalah dengan semakin mendekat diri kepada-Nya melalu berbagai ibadah, wajib ataupun sunnah.
Setelah belajar dipenuhi, beramal juga telah dilakukan, maka kewajiban berikutnya, adalah menyampaikan apa yang diketahuinya kepada orang lain (dakwah). Tidaklah seseorang mengetahui sedikit dari agama ini, melainkan ia dberkeajiban untum menyampaikannya kepada orang lain. Sabda Rasulullah saw: “Sampaikanlah apa yang kalian ketahui dariku, walau satu ayat.”. lebih tegas lagi, Allah memerintahkan kita untuk mendakwahi manusia agar berislam yang baik sebagainmana kita berislam. Berada di jalan Allah, buka jalan para syetan. Berjalan menuju syurga, bukan berjalan menuju neraka. Seperti firman-Nya: “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan cara yang hikmah dan tutur kata yang baik. Dan bantahlah mereka dengan bantahan yang lebih baik” (An-Nahl: 125)
Termasuk juga semangat dakwah yang tidak konfrontatif dengan mengajak diskusi, dan mengedepankan dialogi seperti yang dimaksud ayat di atas, sehingga Rasulullah saw dan para sahabatnya memilih menghindar, hijrah ke tempat lain daripada harus berhadapan dengan orang – orang Quraisy yang memang sudah tidak mungkin untuk diajak diskusi.
Nah Sodara, semangat rajin belajar, tekun beribadah dan giat berdakwah, adalah aktualisasi hijrah yang harus kita manifestasikan dalam hidup keseharian kita.
Wallahu A’lam.