Jumat, 12 November 2010

Berkorban Songsong Kemenangan

Ketika Allah subhanahu wata’ala menjanjikan kemenangan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya kemenangan yang dijanjikan tersebut bukanlah janji yang serta merta tanpa sebelumnya melakukan perjuangan. Perjuangan sejatinya adalah upaya sunggu - sungguh, terus – menerus dan harus disertai pengorbanan. Tiada perjuangan tanpa pengorbanan. Bukanlah suatu perjuangan kalau hanya sesaat. Dan tidak ada perjuangan yang dilakukan tanpa kesungguhan.

Maka ketika Allah menurunkan surat an-Nasr dan surat al-Fath, itu adalah janji yang Allah berikan pada Rasul-Nya, Muhammad ‘alahis shalaatu wassalaam dan para pengikutnya sebagai apresiasi terhadap kesungguhan, kesabaran (terus-meerus), dan pengorbanan yang telah dilakukan sebelumnya. Sejarah telah mencatat, bahwa sebelum Rasulullah akhirnya berhasil menaklukkan Mekah pada tahun ke 10 Hijjriyah, Rasulullah saw dan para sahabatnya telah melakukan perjuangan selama 23 tahun. Tiga belas tahun di Mekkah, dan sepuluh tahun di Madinah. Tak kurang dari 64 kali peperangan telah dilalui, baik yang Rasulullah terlibat secara langsung, ataupun yang hanya melibatkan sahabat – sahabat beliau. Belum lagi pengorbanan, harta, dan jiwa yang sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan mereka harus terusir dari kampung halaman, meninggalkan rumah, harta, istri, anak, dan seluruh kaum kerabat. Kalau kita coba tarik ke belakang, sebelum Sayyidina Muhammad ‘alahis shalaatu wassalaam diangkat menjadi nabi dan rasul, sebelum itu beliau telah banyak berkorban perasaan, dengan terlahir sebagai yatim, kemudian piatu, kemudian berpindah – pindah pengasuh dari kakeknya, Abdul Muththalib ke pamanya, Abu Thalib.

Bahkan kalau kita tarik lebih jauh lagi kebelakang, sesungguhnaya kemunculan Rasulullah Muhammad saw sendiri adalah buah dari dua pengorbanan besar yang pernah ada di muka bumi ini. Sebagai mana sabda beliau : “Ana ibnu adzdzabihaini” (Aku adalah keturunan dari dua orang yang di sembelih). Orang pertama yang dimaksud oleh Rasulullah saw sebagai orang yang disembelih / dikorbankan, adalah datuk beliau, Sayyidina Ismail ‘alaihis salaam. Itu adalah simbol pengorbanan, yang kemudian menjadi dasar disyariatkannya ibadah kurban bagi Umat Islam setiap bulan haji sepanjang masa.

Bagaimana mungkin, sebagai seorang ayah yang telah merindukan kehadiran anak sekian lama, dan ketika anak itu telah hadir, malah diharuskan untuk menyembelihnya. Tentu sebagai manusia, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam ketika itu sangat berat hati untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Gejolak hatinya kala itu mungkin lebih dahsyat dari gejolak kawah merapi. Begitu juga Ismail as, tentu sebagai manusia, beliau juga punya keinginan untuk bisa tetap hidup melanjutkan masa depannya. Tapi apa gerangan yang menjadikan dua orang ayah – anak ini tetap teguh untuk menjalankan perintah tersebut? Jawabannya adalah ketaatan kepada Allah Rabbil ‘aalamin, dan kesadaran bahwa pengorbanan sebesar apapun harus dilakukan oleh setiap orang yang berjuang membawa visi dan misi Ilahi. Beliau berdua sadar bahwa visi akan sampai, misi akan terealisasi, kalau disertai dengan pengorbanan.

Sedangkan orang ke dua yang dimaksud Rasulullah saw, sebagai orang yang disembelih atau dikorbankan, adalah ayah beliau Abdullah bin Abdul Muththalib. Tersebutlah Abdul Muththalib pernah bernadzar, bahwa kalau Allah memberinya anak laki-laki sejumlah 10 orang, maka salah seorang diantaranya akan dikurbankan untuk Baitullah. Maka setelah Abdullah, sebagai anak yang kesepuluh lahir, Abdul Muththalib pun bersegera memenuhi janjinya. Diadakanlah undian untuk memilih siapa yang namanya keluar, dialah yang akan disembelih. Pada undian pertama, nama Abdullah keluar.

Tapi karena Abdullah adalah saudara kesayangan saudara-saudaranya yang lain, maka semua saudaranya, seperti Abu Thalib, Abbas, Ja’far, Hamzah dan lainnya, semuanya berebut untuk menggantikan posisi Abdullah untuk disembelih. Tapi Abdul Muththalib menolak permohonan anak-anaknya tersebut. Kemudian diadakan undian yang kedua, nama Abdullah kembali yang keluar. Saudara - saudaranya kembali berebut untuk menggantikan posisinya sebagai kurban. Kembali diadakan undian yang ke tiga, tapi lagi – lagi nama Abdullah yang keluar. Akhirnya Abdul Muththalib pun memutuskan untuk menebus jiwa Abdullah dengan 100 ekor unta. Padahal harga satu ekor unta di zaman itu kira - kira seharga Toyota Innova sekarang ini.

Tapi Abdul Muththalib tetap bergeming, ia tetap harus melakukanya, sebagai bentuk pengurbanannya pada Allah swt. Sehingga karena itulah kemudian dari silsilah pengorbanan itu terlahir khiyaarun min khiyaar (yang terbaik dari yang terbaik), nabi kita dan junjungan kita, Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Walau memang seperti yang diceritajkan oleh Imam Bushiri, bahwa jauh sebelum Rosulullah Muhammad saw lahir, telah dipilihkan oleh Allah untuk beliau sebaik- baik manusia untuk menjadi silsilah nasabnya.

Maka Sodara, bulan Dzulhijjah kembali datang, hari raya kurban kembali menghampiri, ini adalah momentum yang tepat bagi kita semua untuk mengadakan kurban secara simbolis. Mari kita berkurban unta, sapi, atau kambing, sebagai penggerak diri kita, keluarga kita dan masyarakat kita untuk membudayakan berkorban dengan segala bentuk dan kesempatan sepanjang kehidupan manusia di muka bumi ini. Karena hanya dengan melakukan kurban, maka kita bisa membuktikan kesungguhan kita untuk mengabdi kepada Allah dengan sebaik – baik pengabdian. Pun, berkurban adalah kebiasaan para pendahulu ummat ini, bahkan merupakan kebiasaan manusia – manusia terdahulu untuk mencapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt.

Saat ini, kita tidak disuruh oleh Allah untuk menyembelih anak kita sendiri, sebagaimana perintah-Nya kepada Nabi Ibrahim as. Kita juga tidak harus menyembelih seratus ekor onta sebagai bukti pengorbanan kita kepada Allah, seperti yang dilakukan Abdul Muththalib. Kita hanya disuruh berkurban sesuai dengan kadar kemampuan kita. Satu atau dua ekor hewan kurban saja, yang mungkin harganya tidaklah lebih mahal dari perabot rumah tangga atau kendaraan kita. Tapi, adakah kita mau melakukannya??

Padahal kalau kita sampai enggan melakukannya, sedang kita mampu, kita khawatir kalau kita menjadi orang yang berprilaku buruk, seperti yang dikatakan oleh Imam Malik: “Janganlah sampai (orang mukmin) tidak berkorban, karena barang siapa yang tidak berkorban, itu adalah seburuk-buruknya prilaku. Kecuali kalau memang dia tidak mampu”. Atau jangan – jangan kita adalah termasuk orang – orang yang dilarang oleh Rasulullah saw, untuk mendekat kepada masjid. Sebagaimana sabda beliau: “Siapa yg memiliki kelapangan (harta) tapi ia tidak menyembelih qurban, maka jangan sekali-kali mendekati mushalla (masjid) kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)

****
Gambar diambil dari sini

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda, silahkan berkunjung lagi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Tags

Informasi

Buletin Insaf Lawang adalah buletin mingguan yang diterbitkan oleh Yayasan Bina Insan

Pengikut

Buletin Insaf Lawang Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template